Thursday 28 June 2012

Nasi liwet Wongso Lemu

Nasi liwet - memang hidangan khas Kota Solo. Menu ini sudah mendarah daging di Kota Bengawan ini.  Terasa lengkap saat disajikan dengan pincuk dari pelepah pisang. Jika Anda berkunjung ke Kota Surakarta, atau sering dikenal dengan sebutan Solo, terasa kurang lengkap sebelum menikmati kelezatan Nasi Liwet. Nasi Liwet adalah masakan yang terdiri dari nasi putih yang dimasak pulen dengan menggunakan santan kelapa dan dilengkapi dengan berbagai jenis sayur dan lauk, seperti sayur sambal goreng labu siam, ayam areh yang disuwir-suwir (diiris-iris) dengan bentuk memanjang, dan telur pindang. 
Nasi liwet Wongso Lemu di Jalan Teuku Umar,  arah selatan dari gapura masuk Keraton Mangkunegaran.  Walaupun banyak pesaing namun, Nasi Liwet ini yang paling populer.

Makan di sini selalu ditemani oleh penyanyi para sinden perempuan khas Jawa, mereka tidak pernah meminta, namun kebanyakan orang memberikan tips sukarela, karena di samping mereka tampil berdandan, nyanyian ditembangkan cukup merdu dan nyaring. Harganya memang lebih mahal dibanding nasi liwet Yu Sani di Solo Baru, apalagi di emperan jalan Kratonan, namun memang banyak pelanggan dari luar kota datang ke sini jika mampir ke Solo. Apalagi tempat ini pernah diliput oleh sebuah televisi swasta dalam acara kuliner, sehingga makin terkenal. Buka dari sore hingga larut malam.

Gua Jatijajar Kebumen

Gua Jatijajar - merupakan salah satu objek primadona di Kabupaten Kebumen, tepatnya di Desa Jatijajar, Kecamatan Ayah. Gua ini membentang sepanjang +/- 250 meter dengan lebar rata-rata 25 meter dengan ketinggian 15 meter, sehingga memudahkan bagi pengunjung untuk memasukinya. Didalam gua ini masih terdapat sungai bawah yang masih aktif dan juga terdapat emat buah sendang yakni: kantil, mawar, jombor dan puser bumi. Sendang Kantil dan Mawar dipercayai dapat menjadikan awet muda bagi siapa saja yang mau membasuh mukanya dengan air yang ada pada kedua sendang tersebut.


Gua ini ditemukan oleh seorang petani yang memiliki tanah di atas Gua tersebut yang Bernama "Jayamenawi". Pada suatu ketika Jayamenawi sedang mengambil rumput, kemudian jatuh kesebuah lobang, ternyata lobang itu adalah sebuah lobang ventilasi yang ada di langit-langit Gua tersebut. Lobang ini mempunyai garis tengah 4 meter dan tinggi dari tanah yang berada dibawahnya 24 meter.
Pada mulanya pintu-pintu Gua masih tertutup oleh tanah. Maka setelah tanah yang menutupi dibongkar dan dibuang, ketemulah pintu Gua yang sekarang untuk masuk. Karena di muka pintu Gua ada 2 pohon jati yang besar tumbuh sejajar, maka gua tersebut diberi nama Gua Jatijajar.
Bebatuan stalagtit dan stalagmit yang ada pada gua ini cukup menarik, diantaranya bahkan masih aktif untuk terus tumbuh. Hal ini ditandai dengan masih adanya air yang mengalir dan menetes pada ujung-ujungnya. Namun secara pribadi saya merasa keberadaan patung-patung yang ada pada gua ini, sedikit tidaknya memalingkan pengunjung untuk menikmati corak atau ornamen dari bebatuan yang ada. Permainan cahaya dari penerangan yang ada semestinya diatur sedemikian rupa sehingga bisa menambah kesan indah akan ornamen batu yang ada.
Gua Jatijajar sangat erat kaitannya dengan legenda Lutungkasarung, konon di gua inilah Kamandaka lolos dari kejaran prajurit Pasirluhur hingga memutuskan untuk bertapa. Ditempat ini juga ia mendapatkan petunjuk agar mengambil baju pusaka yang dapat merubah wujud menjadi seekor lutung atau kera.
Legenda Lutungkasarung sudah melekat dimasyarakat  Banyumas  dan sekitarnya. Karena Kamandaka selalu memberikan nama pada setiap tempat yang disinggahi. Nama asli Kamandaka adalah Banyak Cakra seorang pangeran dari Pajajaran putra sulung Prabu Siliwangi.


Pada sisi lain di bagian luar dari Gua Jatijajar, pengunjung akan menjumpai sebuah patung dinosaurus berwarna hijau berukuran besar dengan mulutnya yang menganga lebar. Dari dalam mulut tersebut mengalir air dengan derasnya, dimana air tersebut berasal dari sungai bawah tanah yang ada didalam/bawah gua jatijajar. Air tersebut mengalir keluar dari mulut patung dinosaurus menuju aliran sungai besar dimana pengunjung terutama anak kecil banyak memanfaatkannya sebagai sarana permainan air. Dimusim penghujan, air sungai tersebut mengalir sangat deras sekali bahkan bisa meluap dan menggenangi dasar Gua Jatijajar.

Wednesday 27 June 2012

Pantai Ngobaran Kutanya Gunung Kidul

Pantai Ngobaran - menawarkan sebuah keindahan dalam pluralisme lingkungannya. Ombak-ombak nan ramah memberikan kesejukan bagi rumput-rumput laut (alba) yang bersemayam di sana. Seperti Wisata Gunung Kidul lainnya, belum banyak yang tahu tentang obyek wisata pantai ini. Sebenarnya, tidak susah untuk menjangkau Pantai Ngobaran

Pantai yang terletak di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta memiliki pemandangan unik yang berbeda dari pantai - pantai pada umumnya. Jika dalam keadaan surut pengunjung dapat melihat hamparan rumput laut yang berwarna hijau dan cokelat. Layaknya pemandangan hijau di persawahan jika dilihat dari atas pantai. Terdapat beberapa jenis binatang laut di pantai ini diantaranya bintang laut, landak laut, dan kerang - kerangan.


Pantai ini memiliki keunikan tersendiri karena terdapat Pura dan beberapa bangunan yang bernuansa Hindu. Kawasan wisata ini memang belum banyak disadari oleh para wisatawan akan kecantikannya, hal itu membuat Anda akan merasakan berada di private beach. Terkecuali pada hari libur, Pantai Ngobaran cukup ramai dikunjungi para penikmat alam.
Di pantai ini juga berkembang mitos bahwa Raden Brawijaya melakukan Muksa, ketika anda terus menyusuri jalan setapak yang ada di depan Joglo, anda akan menemukan sebuah kotak batu yang ditumbuhi tanaman kering. Tanaman tersebut dipagari dengan kayu berwarna abu-abu. Titik dimana ranting kering ini tumbuh konon merupakan tempat Brawijaya V berpura-pura membakar diri. Langkah itu ditempuhnya karena Brawijaya V tidak mau berperang melawan anaknya sendiri, Raden Patah (Raja I Demak).
Kebenaran cerita tentang Brawijaya V ini kini banyak diragukan oleh banyak sejarahwan. Sebabnya, jika memang Raden Patah menyerang Brawijaya V maka akan memberi kesan seolah-olah Islam disebarkan dengan cara kekerasan. Banyak sejarahwan beranggapan bahwa bukti sejarah yang ada tak cukup kuat untuk menyatakan bahwa Raden Patah melakukan penyerangan.

Indahnya Sunrise Gunung Bromo


Gunung Bromo (dari bahasa Sanskerta: Brahma, salah seorang Dewa Utama Hindu), merupakan gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur. Sebagai sebuah obyek wisata, Gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif.
Suku Tengger yang berada di sekitar kawasan Gunung Bromo yang, merupakan suku asli yang beragama Hindu. Menurut legenda, asal-usul suku tersebut dari Kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri.
Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut itu berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang.
Wisatawan dari seluruh dunia datang untuk melihat sunrise Gunung Bromo. Pemandangannya sungguh menakjubkan dan yang akan Anda dengar hanya suara jepretan kamera wisatawan saat menangkap momen yang tidak bisa didapatkan di tempat lain. Saat sunrise sangat luar biasa dimana Anda akan melihat latar depan Gunung Semeru yang mengeluarkan asap dari kejauhan dan matahari bersinar terang naik ke langit.  
Kawasan wisata ini menjanjikan sebuah keindahan yang tak bisa anda temui di tempat lain. Dari puncak gunung berapi yang masih aktif ini, anda bisa menikmati hamparan lautan pasir seluas 10km persegi, dan menyaksikan kemegahan gunung Semeru yang menjulang menembus awan. Anda juga bisa menatap indahnya matahari beranjak keluar dari peraduannya.

Selain menyaksikan keindahan panorama yang ditawarkan oleh Bromo-Semeru, apabila Anda datang di waktu yang tepat, maka Anda dapat menyaksikan Upacara Kesodo, yang diadakan oleh masyarakat Tengger. Upacara ini biasanya dimulai pada saat tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kesodo [ke-sepuluh] menurut penanggalan Jawa.
Upacara Kasodo diselenggarakan setiap tahun (Desember/Januari) pada bulan purnama. Melalui upacara tersebut, masyarakat Suku Tengger memohon panen yang berlimpah atau meminta tolak bala dan kesembuhan atas berbagai penyakit, yaitu dengan cara mempersembahkan sesaji dengan melemparkannya ke kawah Gunung Bromo, sementara masyarakat Tengger lainnya harus menuruni tebing kawah dan meraih untuk menangkap sesaji yang dilemparkan ke dalam kawah, sebagai perlambang berkah dari Yang Maha Kuasa. Perebutan sesaji tersebut merupakan atraksi yang sangat menarik dan menantang sekaligus mengerikan. Sebab tidak jarang diantara mereka jatuh ke dalam kawah.



Suku Badui Banten

Suku Baduy/Badui - merupakan suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.  Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat – red) mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang Pu’un.

Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin.Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.

Suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda 
I. Berasal dari Kerajaan Pajajaran / Bogor

Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU SILIWANGI.

Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”

Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “ 

Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo ( Baduy Dalam ) 

dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan ( baju sangsang ), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua ( tenunan sendiri ) sampai di atas lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara ( seperlunya ) tapir amah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.

II. Berasal dari Banten Girang/Serang

Menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan .

Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara ( hanya seperlunya ), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih ( blacu ) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua ( diatas lutut ).

III. Berasala dari Suku Pangawinan ( campuran ) 

Yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.




Secara umum, suku baduy terbagi menjadi tiga kelompok, yakni Tangtu, Panamping, dan Dangka. Ketiga suku tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain dalam hal penerapan adat istiadat.

1.Kanekes Tangtu ( Baduy Dalam ) adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:  
  •  Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi  
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki  
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang  Pu'un atau ketua adat)  
  • Larangan menggunakan alat elektronik ( samasekali tak tersentuh teknologi) 
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
2. Kanekes Panamping (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
  •  Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam
  •  Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
  •  Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar:
  1. Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
  2. Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
  3. Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  4. Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
  5. Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
3.Kanekes Dangka
Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.

Suku Bajo Wakatobi

Suku Bajo - itulah nama sebutan bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai yang terletak di Desa Kalumbatan, Kecamatan Totikum Selatan Kabupaten Banggai Kepulauan Sulawesi Tengah. 
Suku Bajo Pengelana Laut
Bukan rumah yang dijadikan tempat berlindung justru perahu atau sampanlah yang menjadi tempat bernaungnya. Seiring berjalannya waktu, sudah banyak masyarakatnya yang membuat rumah tapi tetap berada di atas Laut Wakatobi. 

Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya dalam buku sejarah kita.


Konon Suku Bajo berasal dari Laut Cina Selatan. Versi lain menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka keturunan orang-orang Johor atau keturunan Suku Sameng yang ada di semananjung Malaka Malaysia yang diperintahkan raja untuk mencari putrinya yang kabur dari istana. Orang-orang tersebut mengarungi lautan ke sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi. Kabarnya sang puteri berada di Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama BajoE. Sedangkan orang-orang yang mencarinya juga lambat laun memilih tinggal di Sulawesi, enggan kembali ke Johor. Keturunan mereka lalu menyebar ke segala penjuru wilayah Indonesia semenjak abad ke-16 dengan perahu. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden atau manusia perahu (seanomedic).


Suku Bajo datang ke desa ini dengan menggunakan Palema atau rumah di atas Perahu Soppe beratap rumbia yang terapung di laut dan bergerak hanya dengan bantuan dayung. Selama beberapa tahun, mereka tinggal di Palema. pekerjaan utamanya menangkap ikan. Lambat laut, populasinya bertambah. Mereka kemudian ada yang tinggal di darat dengan membuat rumah panggung kayu di atas laut.

Ada pula yang mengatakan berasal dari Filipina atau Bone (Sulawesi Selatan). Namun, menurut Dr Munsi Lampe, antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung.

Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan.

Suku Bajo memang tidak tertarik dengan kemajuan zaman dengan semua keindahan yang bisa dengan mudah didapatkan. Mereka lebih percaya dengan kebudayaan laut dari nenek moyang mereka. Menyatu dengan laut yang memiliki keindahan serta hasil laut yang melimpah, menjadi pegangan Suku Bajo.
Walau Suku bajo beragama Islam, namun mereka masih hidup dalam dimensi leluhur. Budaya mantera mantera, sesajen serta kepercayaan roh jahat masih mendominasi kehidupan mereka. Peran dukun masih ada menyembuhkan penyakit serta untuk menolak bala atau memberikan ilmu ilmu. Orang Bajo sangat mempercayai setan setan yang berada di lingkungan sekitarnya. Rumah dan dapur dapur mereka.
Mereka percaya pantangan pantangan larangan meminta kepada tetangga seperti minyak tanah, garam, air atau apapun setelah magrib. Mereka juga percaya dengan upacara tebus jiwa. Melempar sesajen ayam ke laut. Artinya kehidupan pasangan itu telah dipindahkan ke binatang sesaji. Ini misalnya dilakukan oleh pemuda yang ingin menikahi perempuan yang lebih tinggi status sosialnya.

Makannya, tidak heran kalau film "The Mirror Never Lies" yang menggunakan latar Suku Bajo dan Wakatobi berhasil mencuri perhatian dalam BJIFF. Semoga saja, harmonisasi kehidupan Bajo tidak rusak ataupun hilang karena zaman.

Orang Bunian Gunung Sebelat

Orang Bunian - setiap daerah memiliki kepercayaan tentang mahluk-mahluk bunian ini, di daerah bengkuli, orang Bunian disebut juga sebabah yang merupakan satu bentuk yang mirip dengan manusia hanya saja mereka bertubuh kecil dan berkaki terbalik. 
Lebih kedaerah pedalamannya lagi ada juga kisah tentang mahluk Gugua, yang mempunyai perawakan berbulu lebat, pemalu dan suka menirukan tingkah laku dan perbuatan manusia. Konon pada zaman dahulu mahluk ini bisa ditangkap. Masyarakat dahulu menangkap mahluk ini dengan menyiapkan sebuah perangkap. Ada juga kisah tentang perkawinan mahluk ini dengan penduduk local dan mempunyai keturunan.

Di Gunung Sebelat (Taman Nasional Kerinci) Orang bunian dipercaya merupakan komunitas manusia hutan. Masyarakat setempat menyebutnya Uhang Pandak. Salah satu peniliti asing yang bernama Deborah Martyr begitu sangat tertarik dengan legenda ini dan melakukan penelitian, namun hingga saat ini penelitian tersebut belum menunjukkan hasil. Istilah Uhang pandak adalah pengertian dari orang yang bertubuh pendek.

Mereka merupakan mahluk yang keberadaannya telah diketahui sejak puluhan tahun yang lalu, namun hingga saat ini sulit menemukan bukti fisik dan otentik tentang keberadaan mahluk ini. Keberadaan mereka sendiri sering dilaporkan oleh orang-orang yang secara tidak sengaja bertemu dengan mereka, banyak dari wisatawan dan peneliti mancanegara yang melakukan riset tentang alam Gunung Sebelat secara tidak sengaja bertemu dengan kumpulan mahluk ini.

Informasi yang berhasil dikumpulkan mampu memberikan gambaran tentang Uhang Pandak ini. Mereka adalah mahluk yang hidup di atas tanah, berjalan dengan kedua kakinya dengan tubuh yang diselimuti oleh bulu pendek (abu-abu hingga coklat) dan tinggi tubuh sekitar 80 cm hingga 150 cm. Beberapa ahli bahkan mengklasifikasikan Uhang Pandak sebagai bagian dari rantai evolusi yang mereka sebut “kera misterius”.

Selama tiga tahun terakhir, para peneliti lokal dan mancanegara telah menjelajah hutan dengan harapan dapat menemukan bukti keberadaan masyarakat Uhang Pandak. Mereka telah melakukan banyak cara dari mulai memasang kamera trapping di wilayah hutan terutama daerah dimana sering terjadi laporan penampakan para mahluk tersebut sampai dengan pembuatan perangkap untuk menangkap salah satu dari mahluk itu.

Para ahli merasa kawatir jika memang eksistensi keberadaan Uhang Pandak ini ada, bukan tidak mungkin mereka sedang terancam kepunahan sebagai akibat dari aktivitas penebangan dan penghancuran lingkungan mereka.

Selain uhang pandak banyak komunitas orang bunian lain yang dipercaya oleh masyarakat di berbagai daerah. Sebagian kepercayaan tersebut bahkan mengatakan bahwa komunitas masyarakat orang bunian itu bukan komunitas mahluk halus, namun suatu mahluk yang mirip manusia yang memiliki sedikit perbedaan dengan mahluk manusia, ada yang beranggapan mereka adalah ras manusia tersendiri dan merupakan bagian dari ras mahluk manusia kuno.

Terlepas dari benar tidaknya mereka adalah bagian dari mahluk halus ataupun ras manusia yang berbeda. Dunia masih menyimpan misteri tentang mereka yang harus terus dilakukan penelitian tentang keberadaan mereka. Bukankah berbagai peninggalan dan kerangka mahluk setengah kera atau yang baru-baru saja dtemukan mengenai manusia pendek dari Flores membuktikan ada suatu komunitas mahluk diluar manusia modern yang pernah ada dan bisa jadi mereka tersembunyi untuk suatu hari bisa ditemukan.

Patung Pancoran Jakarta

Patung Pancoran - banyak warga Jakarta yang hanya mengenal nama patung ini sebagai Patung Pancoran namun tidak mengetahui bahwa sebenarnya patung ini bernama Patung Dirgantara.

Patung Dirgantara di bundaran Jalan Jenderal Gatot Subroto (Seberang Wisma Aldiron Dirgantara, dahulu Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia) dibuat berdasarkan rancangan Edhi Sunarso, dikerjakan oleh pematung keluarga Arca Yogyakarta pimpinan Edhi Sunarso. Ide pertama adalah dari Presiden Soekarno yang menghendaki agar dibuat sebuah patung mengenai dunia penerbangan Indonesia atau kedirgantaraan. Patung ini menggambarkan manusia angkasa, yang berarti menggambarkan semangat keberanian bangsa Indonesia untuk menjelajah angkasa.

Data-data singkat mengenai patung Dirgantara:
 

1.Pada awalnya pembuatannya, Bung Karno sendiri lah yang menjadi modelnya. Sebelum maket patung dikerjakan oleh Bapak Edhi Sunarso itu, Bung Karno berulang-ulang kali memperagakan bagaimana model patungnya harus berdiri. Biaya pemasangan patung ini pembiayaannya berasal dari kantung pribadi Bung Karno, yaitu dengan menjual sebuah mobil pribadinya.
 

2.Proses pemasangan Patung Dirgantara selalu ditunggui oleh Bung Karno, sehingga kehadirannya selalu merepotkan aparat negara yang bertugas menjaga keamanan sang kepala negara. Alat pemasangannya sederhana saja yaitu dengan menggunakan Derek tarikan tangan. Patung yang berat keseluruhannya 11 ton tersebut terbagi dalam potongan-potongan yang masing-masing beratnya 1 ton.
 

3.Patung ini terbuat dari bahan perunggu, berat patung 11 ton, Tinggi patung 11 meter, sementara tinggi voetstuk (kaki patung) 27 meter, dikerjakan oleh PN Hutama Karya dengan IR. Sutami sebagai arsitek pelaksana. 



Isu" Menarik Seputar Patung Pancoran

1.konon patung pancoran menunjuk sebuah tempat dimana bung karno meletakkan harta kekaya'annya yg dipercaya dapat melunasi hutang negara

2.beberapa orang menceritakan bahwa patung ini menghadap ke sebuah pelabuhan sunda kelapa yang merupakan jantung peradaban bangsa indonesia selama di jajah belanda.

Pantai Parai Tenggiri

Pantai Parai Tenggiri - sebuah pantai yang terletak di kawasan daerah Matras, sekitar 40 km dari Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang. Desa Sinar Baru, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Pantai ini sering dijadikan obyek wisata dan terkenal dengan batuan granit berbagai ukuran. Fasilitas yang tersedia antara lain hotel, outbound serta permainan olah raga air.

Pada awalnya, masyarakat Sungailiat menyebut pantai ini sebagai Pantai Hakok, kemudian sebagai Pantai Tenggiri. Pantai Parai merupakan pantai paling indah dideretan pantai timur Pulau Bangka. Sejak dulu ketika masih disebut Hakok, pantai ini merupakan kawasan yang paling digemari untuk dikunjunggi oleh masyarakat setempat. Bebatuan yang banyak terdapat di pantai ini, bagaikan sebuah dekorasi alam yang sangat indah. Pantai ini memiliki sebauh resort dengan hotel bintang 4 yakni Parai Beach Resort. Merupakan satu-satunya kawasan tujuan wisata pantai bertarap internasional yang patut dibanggakan di Pulau Bangka.
Pantai Parai Tenggiri, Sang Primadona Pulau Bangka-593
Di Pantai Parai Tenggiri Anda dapat melihat batu-batu granit yang besar beragam bentuk unik yang tidak dapat dijumpai di daerah lain. Bebatuan karang inilah yang membuat pemandangan di pantai ini menjadi lebih istimewa dan kerap kali mengundang decak kagum para pengunjung. Dari atas batu-batu karang, pengunjung dapat duduk santai untuk menikmati keindahan Laut Cina Selatan yang teduh dan berombak kecil.


Selain menikmati keindahan alam dan suasananya, pengunjung juga dapat melakukan rekreasi bahari yang menarik. Bagi Anda yang hobi memancing di pantai maka tersedia penyewaan perahu pancing lengkap dengan semua peralatannya. Mau yang sedikit lebih menantang? Anda dapat saja melakukan permainan banana boating  ataupun parasailing atau dapat pula melakukan diving menikmati kekayaan terumbu karang di kawasan pantai. Bagi Anda yang ingin mencoba parasailing  atau diving namun belum memiliki pengalaman tidak perlu khawatir. Karena, pengelola pantai menyediakan instruktur berpengalaman yang dapat memberikan petunjuk cara penggunaan dan pelatihan terlebih dulu.


Saat ini, kawasan Pantai Parai Tenggiri ditetapkan sebagai kawasan wisata hijau dengan sebutan Parai Green Resort dengan kepedulian yang besar terhadap usaha penyelamatan lingkungan dengan cara mengurangi penggunaan bahan-bahan yang dapat mencemari pantai, seperti plastik, serta menanam banyak pohon di lokasi wisata ini.

Jam Gadang Bukit Tinggi

Jam Gadang Bukit Tinggi - jika di London mereka punya Big Ben, namun di Indonesia mempunyai Jam Gadang. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun. Nama Jama gadang diberikan oleh masyarakat Minangkabau kepada bangunan menara jam itu, karena memang menara itu mempunyai jam yang “gadang“, atau “jam yang besar” (jam gadang=jam besar; “gadang” berarti besar dalam bahasa Minangkabau).

Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazin dan Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam yang merupakan hadiah Ratu Belanda kepada Controleur Oud Agam (sekretaris kota), HR Rookmaker, ini dibangun di “bukit tertinggi” (Bukik Nan Tatinggi) dan menghadap ke arah Gunung Merapi. Jam Besar ini didatangkan dari Rotterdam, Belanda, melalui Teluk Bayur (1926). Mesin Jam Gadang hanya ada dua di dunia, satu lagi tak lain adalah Big Ben.

Bentuk atap Jam Gadang telah mengalami tiga kali penyesuaian dari waktu ke waktu. Pada jaman Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di atasnya. Pada waktu Jepang berkuasa di tanah air, mereka mengganti bentuk atapnya seperti atap klenteng. Kemudian setelah kemerdekaan diproklamirkan, bentuk atapnya diubah menjadi bergonjong empat seperti atap rumah adat Minangkabau dan bermotifkan pucuk rebung. Bagian atas Jam Gadang ini masih terlihat dari kawasan Jempatan Limpapeh yang berjarak sekitar 1 km dari lokasi.

Bulatan jam yang terletak di bagian atas di keempat sisi tugu ini berdiameter 80 cm dengan latar belakang putih sementara tulisan angka dan jarumnya berwarna hitam. Terdapat keunikan penulisan angka pada Jam Gadang. Angka empat yang seharusnya dilambangkan dengan ‘IV’ dalam bentuk Romawi, dituliskan ‘IIII’.



Namun yang patut diketahui lagi, mesin Jam Gadang diyakini juga hanya ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini terpasang di  Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual tersebut oleh pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal) diberi nama Brixlion.

Sekarang balik lagi ke angka Romawi empat, apakah pembuatan angka empat yang aneh itu disengaja oleh pembuatnya, juga tidak ada yang tahu. Tapi yang juga patut dicatat, bahwa Jam Gadang ini peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam tahun, putra
pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di Bukittinggi ketika itu.

Ketika masih dalam masa penjajahan Belanda, bagian puncak Jam Gadang terpasang dengan megahnya patung seekor ayam jantan. Namun saat Belanda kalah dan terjadi pergantian kolonialis di Indonesia kepada Jepang, bagian atas tersebut diganti dengan bentuk klenteng. Lebih jauh lagi ketika masa kemerdekaan, bagian atas klenteng diturunkan diganti gaya atap bagonjong rumah adat Minangkabau. 




Saat pertama Jam Gadang dibangun, 1926, lingkungan sekitar tak ketinggalan ikut dihidupkan. Ada terminal bus, bangunan kantor Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden – kini jadi kompleks Istana Negara Bung Hatta. Di sisi barat, pom bensin, kantor polisi, dan kantor Controleur Oud Agam. Tempat perhentian bendi atau dokar pun disiapkan. Kemudian tak jauh dari perhentian bendi terdapat Loih Galuang serta beberapa loods (los), orang Minangkabau menyebut loih, lain.
Loih Galuang (Los Melengkung) dibangun pada 1890. Los lain juga dibangun untuk pedagang kelontong, kain, juga daging dan ikan. Penataan pasar dilakukan di awal abad 20 oleh Sekretaris Kota Agam Tuo (Controleur Oud Agam) LC Westenenk.

Ondel - Ondel Seni Pertunjukkan Masyarakat Betawi

Ondel-ondel merupakan seni pertunjukan rakyat Betawi yang sering ditampilkan dalam pesta-pesta rakyat. Nampaknya ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa. 
Sekarang Ondel-Ondel kurang mendapat perhatian masyarakat, mungkin dikarenakan masyarakat Jakarta terlalu sibuk dengan pekerjaanya. Ondel-ondel masih bisa kita liat saat acara ulang tahun Jakarta.
Ondel-ondel yang berupa boneka besar itu tingginya sekitar 2,5 meter dengan garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalamnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk.
Ondel-ondel Betawi itu sedang berdansa dengan pasangannya, satu ondel-ondel pria berwarna merah, satunya lagi ondel ondel wanita berwarna putih. Keduanya diiringi seperangkat tetabuhan gamelan Betawi. Ada Gendong, Tepak, Gendang Kempul, Kenong Kemong, Gong, Tehyan, Krecek dan Terompet yang bersahut-sahutan.
Di Pasundan dikenal dengan sebutan Badawang, di Jawa Tengah disebut Barongan Buncis, sedangkan di Bali lebih dikenal dengan nama Barong Landung. Menurut perkiraan jenis pertunjukan itu sudah ada sejak sebelum tersebarnya agama Islam di Pulau Jawa.
Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta- pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misalnya pada peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Betapapun derasnya arus modernisasi, ondel-ondel masih bertahan dan menjadi penghias wajah kota metropolitan Jakarta.

Saturday 23 June 2012

Bir Pletok Minuman Kesehatan

Bir Pletok - minuman khas orang Betawi. Walaupun menggunakan kata bir, minuman ini tidak mengandung alkohol. Bir pletok terbuat dari sari jahegula, sari bunga selasih dan akar-akaran. Apabila kita meminum bir pletok, pertama-tama terasa pedas, akan tetapi selanjutnya badan akan terasa hangat pengaruh dari ramuan yang terdapat di dalamnya.

Pemberian nama pletok pada minuman ini, dikarenakan setelah minuman menyehatkan ini dibuat kemudian dimasukkan di bumbung (selonsong bambu), barulah diisi dan dikocok-kocok, sehingga dapat mengeluarkan bunyi pletak pletok, khasiatnya dapat menghangatkan badan, meredakan nyeri lambung, mual dan meningkatkan stamina.

Pada jaman dahulu, Indonesia masih dijajah sama Belanda dan Jepang. Saat itu minuman bir pletok dibuat karena masyarakat Betawi sering melihat para kompeni Belanda dan Jepang sering mengonsumsi minuman bir sehingga membuat masyarakat Betawi memiliki rasa iri karena ingin mempunyai minuman buatan sendiri, makanya terciptalah bir pletok.

Setu Babakan Kampung Budaya Betawi

Setu Babakan - kawasan Perkampungan Budaya Betawi itu terletak di perbatasan Jakarta dan Depok, tepatnya di  Kelurahan Srengseng Bawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Setu Babakan mulai berstatus sebagai Cagar Budaya Betawi pada 2004, saat DKI Jakarta dipimpin Gubernur Sutiyoso. Situ Babakan merupakan danau buatan dengan area 30 hektar (79 akre) dengan kedalaman 1-5 meter dimana airnya berasal dari Sungai Ciliwung dan saat ini digunakan untuk memancing bagi warga sekitarnya. Ada satu buah danau lagi, yaitu Setu Mangga Bolong luas area 7 hektar dan kedalamannya 1-3 meter.
Tidak hanya sebatas setu yang enak dipandang, setu ini menjadi hiburan bagi pengunjung untuk memancing, olahraga kano dan sepeda air. Kedua Setu itu dikelilingi rindangnya pohon-pohon buah yang menjadi ciri khas Betawi seperti kecapi, belimbing, rambutan, sawo, melinjo, pepaya, pisang, jambu dan nangka.  Pohon-pohon itupun juga mengelilingi perumahan warga sekitar.

Disana juga bisa ditemukan rumah-rumah  memiliki teras yang luas, berlantai satu, rumah ini rata-rata dibangun dengan kayu. Dalam rumah terdiri dari ruang tengah, ruang keluarga dan kamar-kamar.  Teras yang luas  menjadi khas rumah Betawi yang biasanya digunakan untuk menerima tamu dan berkumpulnya orang  rumah.   Diantara bangunan itu, galeri budaya Betawi, pada saat itu dipakai pertemuan reunian sebuah sekolah swasta di Jakarta.
Wisata yang Terdapat di Setu Babakan
Wisata kuliner khas Betawi terdapat disini, antara lain Kerak Telor, Toge Goreng, Arum Manis, Rujak Bebek, Soto Betawi, Es Potong, Es Duren, Bir Pletok, Nasi Uduk, Nasi Ulam, Es Lilin, Es Dawet, Laksa dll.
Wisata budaya yang disajikan antara laim rumah-rumah khas Betawi yang dibagi menjadi 3 macam, pertama rumah Betawi gudang atau kandang, kedua rumah Betawi Kebaya atau Bapang, dan yang ketiga adalah rumah Joglo, hampir serupa dengan rumah khas Yogyakarta.
Keseniannya berupa Lenong, Tari Topeng, Tanjidor, Marawis, Gambang Kromong, Tari Lenggang Nyai, dan Tari Narojeng.
Upacara Adat yang ada di perkampungan Betawi Setu Babakan adalah Penganten Sunat, Pindah Rumah, Khatam Qur'an, dan Nujuh Bulan.
Untuk mencapai Setu Babakan, kita dapat menggunakan kendaraan umum Kopaja 616 dengan rute Terminal Pasar Minggu - Cimpedak - Blok M dan turun di gerbang Bang Pitung. Jika dari Terminal Depok, tumpangilah Mikrolet 128 dan turun di gerbang yang sama. Kalau memiliki mobil pribadi, ikuti saja arah angkot tersebut. Terdapat tempat parkir dengan biaya Rp 5000. Kawasan Setu Babakan dibuka dari pukul 06.00 hingga pukul 18.00.

Friday 22 June 2012

Roti Buaya Syarat Pernikahan Adat Betawi

Roti Buaya - adalah salah satu kue yang paling khas di Jakarta, pasalnya, roti ini adalah salah satu syarat bagi mempelai lelaki dalam pernikahan adat Betawi. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter ini dibawa oleh mempelai pengantin laki-laki pada acara serah-serahan.

Roti buaya mulai dikenal oleh orang-orang Jakarta saat masuknya bangsa eropa ke indonesia. Bagi bangsa eropa, pernikahan adalah sesuatu yang sakral, sehingga diperlukan simbol-simbol yang bisa mewakili pernikahan tersebut, saat itu simbol yang biasa dipakai oleh bangsa eropa yang menikah adalah bunga. Tak mau meniru gaya orang eropa, orang betawi pun berusaha untuk mencari simbol sendiri dalam pernikahan, maka dipilihlah roti buaya sebagai simbol pernikahan.

Mengapa harus roti buaya? Karena buaya merupakan simbol kesetiaan. Nyatanya buaya hanya akan kawin sekali saja. Filosofi inilah yang membuat buaya terpilih untuk mewakili simbolisasi pernikahan ala betawi, dengan harapan si pengantin bisa langgeng dan saling setia sampai akhir hayatnya.

Dan hingga kini, roti buaya sudah umum disebut sebagai roti kawinan betawi, bahkan ada beberapa kepercayaan yang kemudian menyebutkan bahwa perkawinan belum sah kalau belum ada roti buaya. 

Jika diperhatikan, memang benar dalam setiap pernikahan orang Betawi sekalu ada roti buaya. Jadi selain adu pantun dan petasan, roti buaya memegang aspek penting dalam budaya satu ini. Dikarenakan roti ini memiliki makna tersendiri bagi warga Betawi, yakni sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup-semati.



Sayangnya, saat ini roti buaya tidak mudah dijumpai di toko-toko roti. Untuk itu, bagi pasangan yang akan menikah harus pesan dulu ke tukang roti. Dan harganya juga bervariasi tergantung ukuran yang dipesan, yakni mulai dari 50 ribu hingga ratusan ribu rupiah. Itu sudah termasuk rasa roti, keranjang, dan asesoris pelengkapnya. 

Kerak Telor Makanan Khas Tanah Betawi

Kerak telor - adalah makanan asli daerah Jakarta (Betawi). Makanan yang mungkin namanya diambil dari rupanya yang sedikit gosong ini konon sudah ada ketika Jakarta masih bernama Batavia. Waktu itu di Batavia masih banyak ditumbuhi pohon kelapa yang sebagian dimanfaatkan oleh penduduk untuk berbagai macam keperluan. Salah satu diantaranya adalah dengan memarut daging buahnya lalu mencampurnya dengan ketan, telur ayam dan beberapa bumbu masakan kemudian dimasak sedemikian rupa sehingga penganan yang disebut kerak telor.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, makanan yang dahulu selalu disajikan pada saat ada hajatan besar orang Betawi ini mulai terpinggirkan oleh makanan cepat saji ala barat dan makanan yang berasal dari daerah lain. Kerak telor di daerah Jakarta hanya dapat dijumpai di beberapa tempat saja, seperti: obyek wisata Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta selatan; Hutan Kota Srengseng, Jakarta Barat; Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat; dan beberapa tempat lainnya di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan daerah sekitar perbatasan Jakarta dan Bogor (Citayam, Bojong).

Ironisnya lagi, pembuat kerak telor pun sudah tidak didominasi oleh orang Betawi asli, melainkan orang Sunda yang berasal dari daerah Bogor, Garut, dan Bandung. Hal ini terlihat ketika ada Pekan Raya Jakarta atau yang kini berganti nama menjadi Jakarta Fair Kemayoran yang diselenggarakan satu tahun sekali. Dari ratusan penjual kerak telor yang ada di tempat itu mayoritasnya adalah orang Sunda, sedangkan orang Betawi asli hanya berjumlah puluhan saja. Faktor utama penyebabnya adalah keengganan generasi muda Betawi untuk belajar atau mewarisi keahlian membuat kerak telor dari generasi pendahulunya.


Cara membuat makanan ini cukup unik karena tidak dimasak di atas kompor namun dimasak diatas bara api. Pedagang kerak telor sesekali membalikkan wajan agar permukaan dari kerak telor tersebut juga terpanggang dan matang merata sambil dikipas-kipas agar bara api tetap menyala. Setelah kering dan matang kerak telor siap untuk disajikan.

Karapan Sapi Budaya Asli Madura

Karapan Sapi atau Kerapan Sapi pasti sudah tidak asing lagi di telinga banyak orang Indonesia. Bahkan Bank Indonesia pernah menampilkan budaya ini pada uang logam Rp. 100. Karapan Sapi merupakan budaya asli dari tanah Madura yang sudah dikenal sejak abad ke-14 M.
Pada zaman dahulu sapi merupakan satu-satunya alat Transportasi tercepat yang ada di Madura dan banyak digunakan oleh masyarakat , khususnya masyarakat  elite  atau kerajaan.  Karapan Sapi ini merupakan salah satu contoh budaya dan hiburan bagi masyarakat Madura yang telah turun temurun dilaksanakan.
Pada mulanya Karapan Sapi merupakan acara pesta semacam adu balap menggunakan media sapi sebagai kendaraannya. Acara pesta yang diadakan setelah memperoleh hasil panen dari dari pertanian. Mungkin karena dulunya petani menggunakan Sapi sebagai media untuk membajak sawahnya.
Bahkan untuk sekarang acara Karapan Sapi ini sudah menjadi acara pesta rakyat di Pulau Madura yang diadakan tiap tahun. Baik dalam acara besar nasionalis maupun acara besar perorangan. Seperti acara Hari Kemerdekaan Indonesia, Hari jadi kota-kota di Pulau Madura, dan acara besar lainnya. Untuk acara besar perorangan biasanya acara tradisi khas masyarakat Madura ini diadakan apabila ada masyarakat Madura yang telah berhasil atau memperoleh suatu kesuksesan yang bisa mengangkat status sosial. Baik dalam segi hasil panen pertanian, perkebunan, ekonomi, dan dalam bidang lainnya. Intinya meluapkan suatu rasa kegembiraan setelah mendapatkan suatu keberhasilan.


Kebanyakan para Wisatawan Asing dan Lokal menyebutkan Istilah Karapan Sapi ini dalam Bahasa Inggris adalah BULL RACE. padahal rakyat Madura sendiri benar-benar tidak mau Karapan Sapi harus dinamakan Bull Race oleh orang asing. kenapa tidak dijadikan bahasa baku standart yang diakui dan digunakan di seluruh dunia bahwa Karapan Sapi dalam bahasa apapun tidak perlu dirubah agar budaya Karapan Sapi ini juga tetap alami dan tetap lestari sebagai Budaya Asli dari Indonesia khususnya dari Tanah Madura.

Awal mula kerapan sapi dilatar belakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan matapencahariannya sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang.
Suatu Ketika seorang ulama Sumenep bernama Syeh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur) yang memperkenalkan cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang bambu yang dikenal dengan masyarakat madura dengan sebutan "nanggala" atau "salaga" yang ditarik dengan dua ekor sapi. Maksud awal diadakannya Karapan Sapi adalah untuk memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah. Orang Madura memelihara sapi dan menggarapnyadisawah-sawah mereka sesegera mungkin. Gagasan ini kemudian menimbulkan adanya tradisi karapan sapi. Karapan sapi segera menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya khususnya setelah menjelang musim panen habis. Karapan Sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi musik saronen.

Karapan Sapi pun beragam macamnya, yaitu Kerap Keni (Karapan Kecil), Kerap Raja (Karapan Besar), Kerap Onjhangan (Karapan Undangan), Kerap Karesidenan dan Kerap Jhar-Jharan (Karapan Latihan).

1. Kerap Keni (karapan kecil)
Karapan sapi ini hanya diikuti oleh orang satu kecamatan saja. Lintasan balapnya sepanjang 110 meter. Dan lucunya hanya sapi-sapi kecil yang boleh diikutkan. Jika menang dalam karapan sapi jenis ini, maka nantinya akan masuk ke karapan sapi yang lebih tinggi lagi tingkatnya.

2. Kerap Raja (karapan besar)
Karapan sapi ini biasanya diadakan di ibukota kabupaten setiap hari Minggu. Lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.

3. Kerap Onjangan (karapan undangan)
Karapan sapi ini hanya diikuti oleh peserta yang mendapat undangan dari sebuah kabupaten. Karapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu saja.

4. Kerap Karesidenen (karapan tingkat keresidenan)
Karapan Sapi ini diikuti oleh pemenang dari masing-masing kabupaten di kota Madura. Karapan sapi ini diadakan tiap hari minggu karena merupakan puncak dari musim karapan.

5. Kerap jar-jaran (karapan latihan)
Karapan Sapi yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum mengikuti sebuah perlombaan.


Benteng Van Der Wijck Gombong

Benteng Van Der Wijck - merupakan Benteng pertahanan yang dibangun pada tahun 1818 oleh Hindia -Belanda. Terletak di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, benteng ini merupakan benteng terbesar di Jawa bagian selatan pada masanya dan bentuknya yang persegi delapan konon hanya ada dua di dunia. Nama benteng diperkirakan diambil dari salah satu komandan pada saat itu.

Benteng kuno dengan dominasi warna merah ini cukup menyolok diantara bangunan lain, namun tersamar dari jalan utama mengingat gerbang masuk lokasi wisata ini cukup jauh dari pintu gerbang benteng. Disediakan kereta api mini yang siap mengantarkan pengunjung dari gerbang utama mengelilingi objek wisata bersejarah ini

Benteng setinggi 10 meter, setebal 1,4 meter, dan seluas 7.168 meter persegi itu dibangun dua lantai. Lantai pertama mempunyai empat pintu gerbang. Di dalamnya terdapat 16 ruangan besar dan 27 ruangan kecil. Juga ada 72 jendela dan delapan tangga untuk menuju lantai dua, yang memiliki 16 ruangan besar dan 25 ruangan besar.

Benteng ini memiliki 16 barak yang dulunya digunakan sebagai asrama tentara Belanda. Di zaman pendudukan Jepang, benteng ini dipakai untuk melatih prajurit PETA (Pembela Tanah Air). Mereka ditempatkan di barak-barak di sekitar bentang, sedangkan bagian utama benteng digunakan sebagai gudang penyimpanan bahan makanan, senjata, dan amunisi.
Didalam benteng itu sendiri pengunjung bisa melihat beberapa foto dokumentasi seputar bentuk asli bangunan benteng saat ditemukan dan tahap-tahap pemugaran yang telah dilakukan terhadapnya. Ruangan-ruangan bekas barak militer, asrama, pos jaga bisa dilihat didalam benteng dan semuanya boleh dibilang dalam keadaan rapi dan bersih. Hanya saja sebuah papan pengumuman yang ditempel dibagian luar benteng berisi "Sebelum masuk benteng sebaiknya anda berdoa sejenak menurut kepercayaan masing-masing".

Benteng Van der Wijck sebenarnya dibangun pada awal abad 19 atau sekitar tahun 1820-an, bersamaan meluasnya pemberontakan Diponegoro. Pemberontakan ini ternyata sangat merepotkan pemerintah kolonial Belanda karena Diponegoro didukung beberapa tokoh elit di Jawa bagian Selatan. Maka dari itu Belanda lalu menerapkan taktik benteng stelsel yaitu daerah yang dikuasai segera dibangun benteng. Tokoh yang memprakarsai pendirian benteng ini adalah gubernur jenderal Van den Bosch. Tujuannya jelas sebagai tempat pertahanan (sekaligus penyerangan) di daerah karesidenan Kedu Selatan. Pada masa itu, banyak benteng yang dibangun dengan sistem kerja rodi (kerja paksa) karena ada aturan bahwa penduduk harus membayar pajak dalam bentuk tenaga kerja. Tentu saja cara ini membuat penduduk kita makin menderita apalagi sebelumnya gubernur jenderal Deandels punya proyek serupa yaitu jalan raya Anyer - Panarukan.

Dikelilingi oleh banyak pepohonan membuat benteng ini terlihat asri dan sejuk, ditambah lagi terdapat banyak wahana permainan anak yang tarifnya berkisar antara Rp. 3000,- sampai Rp. 8000,- yang sangat cocok untuk berwisata bersama keluarga. Jadi selain membawa anak-anak bersenang-senang di wahana permainan para orang tua juga dapat mengenalkan sejarah yang ada di Benteng  Van Der Wijck. Yang menjadi nilai tambah benteng ini adalah kawasannya yang sangat terawat dan lengkap, fasilitas umum seperti toilet dan kantin pun sangat bersih sehingga menambah kenyamanan saat berkunjung ke benteng ini, bahkan terdapat penginapan dan ruang pertemuan didalamnya. Sebelum pulang tidak ada salahnya para wisatawan untuk mampir sejenak di kios-kios untuk membeli oleh-oleh khas Kebumen.

Wisata Benteng Pendem Cilacap

Benteng Pendem Cilacap - dalam bahasa Belanda Kustbatterij op de Landtong te Cilacap - dibangun 1861, adalah benteng peninggalan Belanda di pesisir pantai Teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah. Bangunan ini merupakan bekas markas pertahanan tentara Hindia Belanda yang dibangun di area seluas 6,5 hektar secara bertahap selama 18 tahun, dari tahun 1861 – 1879. Benteng pendem sempat tertutup tanah pesisir pantai dan tidak terurus. Benteng ini kemudian ditemukan dan mulai digali pemerintah Cilacap tahun 1986.

Benteng Pendem ini dikelilingi oleh parit yang berisi  air dengan kedalaman 10 meter, namun sekarang telah dangkal. Disebut sebagai benteng pendem karena benteng ini setelah jadi dibuat ditimbun oleh tanah sampai kedalaman 3,5 meter. Benteng Pendem ini adalah sebuah markas pertahanan milik Belanda, yang berfungsi untuk menahan serangan dari arah laut. Belanda memakai benteng ini sampai tahun 1942 karena  Jepang berhasil menduduki Indonesia. Hingga bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang  membuat Jepang meninggalkan benteng pendem ini. Kemudian TNI dan para pejuang kemerdekaan menggunakan benteng pendem ini sebagai tempat latihan perang dan pendaratan laut.

Bangunan dari benteng pendem ini terdiri dari beberapa bagian ruang barak, ruang klinik, ruang pertahanan, benteng pengintai, ruang rapat, ruang meriam, ruang amunisi, ruang senjata, ruang penjara, ruang eksekusi bagi tahanan, dapur, ruang perwira dan ada juga sebuah terowongan yang menghubungkan sampai ke benteng-benteng pertahanan di Nusakambangan. Masih banyak ruangan didalam benteng pendem ini yang belum ditemukan dan masih tertimbun pasir sejak  digali  tahun 1986.


Bangunan benteng pendem terdiri dari beberapa ruang yang masih kokoh hingga kini. Namun, sejak awal ditemukan, ruangan dalam benteng belum sepenuhnya diketahui. Ruangan dalam benteng yang umum diketahui terdiri dari barak, benteng pertahanan, benteng pengintai, ruang rapat, klinik pengobatan, gudang senjata, gudang mesiu, ruang penjara, dapur, ruang perwira, dan ruang peluru. Ada pula yang menyatakan bahwa dalam benteng tersebut terdapat terowongan menuju benteng-benteng lain dan sejumlah gua di Pulau Nusakambangan. Namun, hingga kini hal itu belum sepenuhnya terbukti



Antara Benteng Pendem dan Pulau Nusakambangan memang ada kaitannya. Di “pulau penjara” ini, sejumlah bangunan bersejarah peninggalan pemerintah kolonial Belanda bisa dijumpai.

Bangunan bersejarah seperti rumah penjara, tempat peristirahatan di candi, benteng Portugis dengan peninggalan meriam kuno yang merupakan sebagian potensi alam serta sejarah di Nusakambangan, memiliki prospek bagus untuk ditawarkan sebagai atraksi wisata.

Di pulau ini terdapat sekira 25 goa, termasuk goa kelelawar yang dihuni ribuan hewan malam ini. 
Memasuki Nusakambangan dengan waktu tempuh 15 – 20 menit dari Dermaga Wijayapura, pertama kali akan melihat monumen Nusakambangan berupa sebuah tugu peringatan yang jaraknya hanya sekira 10 meter dari Pelabuhan Sodong, Nusakambangan.


Menuju arah barat pulau ini, terdapat bangunan penjara peninggalan Belanda seperti bangunan LP Limus Buntu. Bangunan penjara pertama yang dibangun Belanda, adalah LP Permisan yakni tahun 1908 dan terletak di ujung selatan pulau ini. Pada tahun 1912 dibangun lagi sebuah penjara di daerah Nirbaya dan Karanganyar. 
Selama kurun waktu tahun 1925 sampai tahun 1935 dibangun rumah penjara di Batu, Karang tengah Gliger, Besi, dan Kembang kuning hingga seluruh LP di sana berjumlah sembilan.


Di samping bangunan-bangunan penjara di sebuah perbukitan di daerah candi, terdapat sebuah pesanggrahan. Dari atas puncak bukit ini, kita dapat melihat kerlip-kerlip sinar lampu Kota Cilacap serta kawasan hutan bakau di Segara Anakan.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons