Layang Muna - Sebuah coretan di Goa Sugi Patani menggambarkan orang tengah bermain layang-layang di dekat pohon kelapa. Temuan ini menggoyang fakta bahwa layang-layang ditemukan pertama kali oleh bangsa China pada 2.400 tahun lalu.
Sugi Patani adalah satu dari belasan goa yang ada di Desa Liang Kabori, Kecamatan Lohia di Pulau Muna. Provinsi Sulawesi Tenggara. Goa itu terletak di atas bukit batu dengan ketinggian sekitar 30 meter dari jalan setapak. Untuk menuju goa ini harus menempuh jalan terjal dengan tingkat kemiringan 80 derajat.
Gambar di goa yang dilukis menggunakan oker (campuran tanah liat dengan getah pohon tertentu) ini mengundang perhatian penggemar layang-layang dari Jerman bernama Wolfgang Bieck. Ia mengunjungi Muna dan mengambil foto-foto kemudian menuliskan hasil kunjungannya dalam artikel berjudul ”The First Kiteman” di sebuah majalah Jerman tahun 2003. Bieck meyakini, layangan pertama di dunia berasal dari Muna, bukan dari China.
Kesaksian Bieck memang masih perlu diteliti lagi untuk membuktikan kebenarannya. Beberapa ahli arkeologi di Indonesia belum bisa memastikan apakah usia lukisan di goa itu jauh lebih tua dari temuan layang-layang di China yang berusia 2.400 tahun.
Berbahan Daun
Terlepas dari semua teka teki itu, tradisi bermain layang-layang (yang dalam bahasa setempat disebut kagati) masih berlangsung sampai kini di Muna. Keunikan layang-layang dari Muna ini juga memikat penggemar layangan dari seluruh dunia. Berbeda dengan layang-layang daerah lain yang terbuat dari kertas dan kain, layang-layang Muna terbuat dari daun.
Layang-layang setinggi 1,9 meter dengan lebar 1 meter itu siap diterbangkan La Sima pada bulan Juni-September ini. Pada periode waktu itulah angin timur bertiup kencang sehingga mampu menerbangkan layang- layang selama tujuh hari tanpa pernah diturunkan. Bila selama tujuh hari layang-layang yang diterbangkan tidak jatuh, si pemilik layang-layang akan menggelar acara syukuran. Kini hanya segelintir orang yang bisa membuat layang-layang daun seperti La Sima.
Lukisan goa-goa di Liang Kabori menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah mengenal budaya bercocok tanam. La Hada, penjaga goa-goa prasejarah di Liang Kabori, menuturkan, menurut cerita nenek moyang yang disampaikan turun temurun mengatakan, layang-layang adalah permainan para petani pada masa itu. ”Mereka menjaga kebun sambil bermain layang-layang,” kata La Hada.
Oleh nenek moyang orang Muna, layang-layang digunakan sebagai alat untuk mengusir hewan perusak ladang dan kebun mereka. Pada layang-layang tadi dikaitkan sebuah alat dari kayu yang bisa berbunyi nyaring bila tertiup angin. ”Suara nyaring itu untuk menakut-nakuti hewan,” kata La Sima.
Tradisi daerah lain
Indonesia sebagai negara agraris memiliki sejarah layang-layang yang panjang. Selain berfungsi sebagai alat untuk membantu budidaya pertanian, layang-layang juga dipakai sebagai alat bantu memancing seperti ditemukan di Jawa Barat dan Lampung. Di daerah Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, layang- layang dipasangi jerat untuk menangkap kelelawar.
Selain fungsi tadi, masyarakat yang masih memegang teguh tradisi percaya bahwa layang-layang memiliki makna magis religius. Masyarakat Muna, misalnya, percaya bahwa layang-layang berfungsi sebagai ”payung” yang akan menjaga pemiliknya dari sengatan matahari bila ia meninggal dunia. Ketika si pemilik ini meninggal, ia ”berpulang” dengan berpegangan tali layangan dan bernaung di bawah layang-layang.
Di Bali, masyarakat mengenal layang-layang untuk melindungi singgasana para dewa. Sementara di Sumatera Barat, masyarakat masih percaya bahwa adanya layang-layang bertuah yang bisa memikat gadis.
Sugi Patani adalah satu dari belasan goa yang ada di Desa Liang Kabori, Kecamatan Lohia di Pulau Muna. Provinsi Sulawesi Tenggara. Goa itu terletak di atas bukit batu dengan ketinggian sekitar 30 meter dari jalan setapak. Untuk menuju goa ini harus menempuh jalan terjal dengan tingkat kemiringan 80 derajat.
Gambar di goa yang dilukis menggunakan oker (campuran tanah liat dengan getah pohon tertentu) ini mengundang perhatian penggemar layang-layang dari Jerman bernama Wolfgang Bieck. Ia mengunjungi Muna dan mengambil foto-foto kemudian menuliskan hasil kunjungannya dalam artikel berjudul ”The First Kiteman” di sebuah majalah Jerman tahun 2003. Bieck meyakini, layangan pertama di dunia berasal dari Muna, bukan dari China.
Kesaksian Bieck memang masih perlu diteliti lagi untuk membuktikan kebenarannya. Beberapa ahli arkeologi di Indonesia belum bisa memastikan apakah usia lukisan di goa itu jauh lebih tua dari temuan layang-layang di China yang berusia 2.400 tahun.
Berbahan Daun
Terlepas dari semua teka teki itu, tradisi bermain layang-layang (yang dalam bahasa setempat disebut kagati) masih berlangsung sampai kini di Muna. Keunikan layang-layang dari Muna ini juga memikat penggemar layangan dari seluruh dunia. Berbeda dengan layang-layang daerah lain yang terbuat dari kertas dan kain, layang-layang Muna terbuat dari daun.
Layang-layang setinggi 1,9 meter dengan lebar 1 meter itu siap diterbangkan La Sima pada bulan Juni-September ini. Pada periode waktu itulah angin timur bertiup kencang sehingga mampu menerbangkan layang- layang selama tujuh hari tanpa pernah diturunkan. Bila selama tujuh hari layang-layang yang diterbangkan tidak jatuh, si pemilik layang-layang akan menggelar acara syukuran. Kini hanya segelintir orang yang bisa membuat layang-layang daun seperti La Sima.
Lukisan goa-goa di Liang Kabori menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah mengenal budaya bercocok tanam. La Hada, penjaga goa-goa prasejarah di Liang Kabori, menuturkan, menurut cerita nenek moyang yang disampaikan turun temurun mengatakan, layang-layang adalah permainan para petani pada masa itu. ”Mereka menjaga kebun sambil bermain layang-layang,” kata La Hada.
Oleh nenek moyang orang Muna, layang-layang digunakan sebagai alat untuk mengusir hewan perusak ladang dan kebun mereka. Pada layang-layang tadi dikaitkan sebuah alat dari kayu yang bisa berbunyi nyaring bila tertiup angin. ”Suara nyaring itu untuk menakut-nakuti hewan,” kata La Sima.
Tradisi daerah lain
Indonesia sebagai negara agraris memiliki sejarah layang-layang yang panjang. Selain berfungsi sebagai alat untuk membantu budidaya pertanian, layang-layang juga dipakai sebagai alat bantu memancing seperti ditemukan di Jawa Barat dan Lampung. Di daerah Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, layang- layang dipasangi jerat untuk menangkap kelelawar.
Selain fungsi tadi, masyarakat yang masih memegang teguh tradisi percaya bahwa layang-layang memiliki makna magis religius. Masyarakat Muna, misalnya, percaya bahwa layang-layang berfungsi sebagai ”payung” yang akan menjaga pemiliknya dari sengatan matahari bila ia meninggal dunia. Ketika si pemilik ini meninggal, ia ”berpulang” dengan berpegangan tali layangan dan bernaung di bawah layang-layang.
Di Bali, masyarakat mengenal layang-layang untuk melindungi singgasana para dewa. Sementara di Sumatera Barat, masyarakat masih percaya bahwa adanya layang-layang bertuah yang bisa memikat gadis.
Membuat Layang-Layang dari Daun Kolope
Mengolah daun kolope menjadi kertas layang-layang tidaklah mudah. Kini hanya segelintir orang di Pulau Muna yang bisa membuat layang-layang dari daun kolope khas Pulau Muna. Daun kolope hanya merekahkan daunnya sekitar bulan Mei ketika iklim musim penghujan tiba namun saat itu daun terlalu muda untuk diolah menjadi kertas layang-layang. Baru sekitar bulan Juli daun kolope sudah cukup matang untuk dipetik sebagai bahan layangan.
Cara lain adalah menungu daun kolope itu kering secara alami lalu gugur di tanah. Akan tetapi, daun seperti itu terlalu rapuh dan mudah robek serta hasilnya kertas kolope akan berwarna kuning.
Kualitas terbaik daun Kolope adalah dipetik saat daun menua lalu panaskan di atas bara api (dikandela). Barulah setelah itu daun dijemur selama dua hari. Hasilnya bahan layangan berupa kertas putih, elastis dan kedap air.
Untuk satu layang-layang, dibutuhkan sekitar 100 lembar daun Kolope. Setelah menjadi kertas putih, daun-daun itu direkatkan satu sama lain pada sisi-sisinya sehingga menjadi satu lembaran yang utuh. Lembaran kertas dari daun kolope tersebut dikepik dengan kerangka kayu dan disimpan selama 5 hari. Berikutnya, lembaran itu dirajut dengan tali agar menjadi lembaran utuh kertas layang-layang. Sambil menunggu, dibuat kerangka layang-layang dari bambu (patu-patu) dan talinya dari daun nenas hutan.
Daun nenas yang dipetik pun adalah pilihan yaitu daun tua. Daun ini tidak langsung diolah melainkan disimpan dahulu selama 2 hari. Setelah kering, daun dikerok dengan bambu sehingga yang tersisa hanya serat lalu dicecar menjadi jumbai-jumbai benang. Jumbai-jumbai benang selanjutnya dipilin menjadi seutas tali yang siap dipakai. Satu helai daun nenas hutan dapat menghasilkan 10 meter tali layang-layang.
Ketika kerangka dan tali sudah siap, kemudian disatukan menjadi satu layang-layang Kolope utuh. Berikutnya adalah diberi sentuhan terakhir berupa nada dering (kamumu). Kamumu adalah semacam pita suara yang dibuat dari daun nyiur yang apabila ditiup angin akan bergetar dan menghasilkan bunyi khas mendayu terutama saat layangan dibiarkan terbang saat malam hari.
Setiap layangan memiliki ukuran kamumu masing-masing sesuai seleranya sehingga suara yang dihasilkannya juga menjadi spesifik dan dapat dikenali. Bagi telinga yang sering mendengar bunyi kamumu akan segera dapat menebak pemilik layang-layang yang terbang di langit saat malam hari. Layangan ini terbuat dari daun kolope kedap air sehingga tahan di udara selama berhari-hari atau sekehendak pemiliknya kapan pun ingin diturunkan.