Sunday 12 August 2012

Desa Wisata Kemiren, Suku Osing Banyuwangi

Desa Wisata Osing berada di Desa Kemiren , Kecamatan Glagah di Kabupaten Banyuwangi. Penduduk di desa ini merupakan kelompok masyarakat yang memiliki adatistiadat dan budaya khas sebagai satu suku, yang dikenal sebagai suku Osing (Using). Pemerintah menetapkannya , sebagai daerah eagar budaya dan mengembangkannya sebagai Desa Wisata (Suku) Using (Osing)

Memasuki Desa Kemiren benar-benar terasa berada di tempat  yang patut dinikmati sebagai satu pengalaman baru  Bangunan mmah berjajar dan saling berdekatan di komplek pemukiman yang padat penduduk dt sepanjang jalan menyambut wisatawan sebelum tiba di tempat rekreasi.

Dalam bercocok tanam, masyarakat Kemiren menggelar tradisi selamatan sejak menanam benih, saat padi mulai berisi, hingga panen. Saat masa panen tiba, petani menggunakan ani-ani diiringi tabuhan angklung dan gendang yang dimainkan di pematang-pematang sawah.Saat menumbuk padi, para perempuan memainkan tradisi gedhogan, yakni memukul-mukul lesung dan alu sehingga menimbulkan bunyi yang enak didengar.

Setelah ditetapkan menjadi Desa Wisata Using, tahun 1995 Bupati Purnomo Sidik membangun anjungan wisata yang terletak di utara desa. anjungan yang berdiri di atas lahan 2,5 hektar ini dibangun dengan biaya Rp 4 miliar. Anjungan ini dikonsep menyajikan miniatur rumah-rumah khas Using, mempertontonkan kesenian warga setempat, dan memamerkan hasil kebudayaan.


Di tempat rekreasi dibangun fasilitas wisata seperti kolam renang, tempat bermain, dan tentu saja ada bangunan rumah khas masyarakat Osing serta bangunan museum modern yang mamajang berbagai perlengkapan dan pernik budaya Osing. Cukup dengan uang Rp 5.000 untuk tiket masuk, wisatawan bisa menikmati fasilitas rekreasi sepuasnya.
Posisi Desa Kemiren sangat strategis menuju wisata Kawah Ijen. Desa ini merniliki luas117.052 m2 memanjang hingga 3 km yang di kedua sisinya dibatasi oleh dua sungai, Gulung dan Sobo yang mengalir dari barat ke arah timur. Di tengah-tengahnya terdapat jalan aspal selebar 5 m yang menghubungkan desa ini ke kota Banyuwangi di sisi timur dan pemandian Tamansuruh dan ke perkebunan Kalibendo di sebelah barat. Pada siang hari, terutamapada hari-hari libur, jalan yang membelah Desa Kemiren cukup ramai oleh kendaraan umum dan pribadi yang menuju ke pemandian Tamansuruh, perkebunan Kalibendo maupun ke lokasi wisata Desa OSing.


Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah mempertemukan pengusaha Bali dan Banyuwangi yang dikemas dalam Gathering Night in Bali. Dengan harapan meningkatkan kunjungan wisata ke Banyuwangi  “Selain itu kami juga bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur misaInya melalui Majapahit Travel Fair yang akan berlangsung bulan Mei.”
Sejarah Masyarakat Osing
Desa.yang berada di ketinggian 144 m di atas p ermukaan laut yang termasuk dalam topografi rendah dengan curah hujan 2000 mm/tahun sehingga memiliki suhu udara rata-rata berkisar 22-26°C ini rnemang cukup enak dan menarik dari sudut suhu udara dan pemandangan untuk wisata.
Mengamati bentuk rumah di Kemiren sepertinya sarna. Namun jika diamati lebih teliti ada perbedaan pada atap rumah yang ternyata menandai status penghuninya. Rumah yang beratap empat yang disebut ‘tikel balung’ melambangkan bahwa penghuninya sudah mantap. Rumah ‘crocogan’ yang beratap dua mengartikan bahwa penghuninya adalah keluarga muda dan atau keluarga yang ekonominya relatif rendah, dan rumah “baresan’ yang beratap tiga yang melambangkan bahwa pemiliknya sudah mapan, secara ma·teri berada di bawah rumah bentuk ‘tikel balung’ .
Hampir di setiap rumah ditemukan lesung (alat penumbuk padi), dan gudang tempat menyimpan sementara hasil panen. Di beberapa sudut jalan tampak gubuk beratapkan ilalang, yang dibangun di ujung kaki-kaki jajang  (bambu, dalam bahasa Osing) yang tinggi. Bangunan ini digunakan oleh masyarakat untuk “cangkruk” sambil mengamati keadaan di sekeliling desa. Pada masa lalu, gubuk seperti ini sengaja dibangun untuk memantau kedatangan “orang asing” yang mencurigakan.
Sejarahnya, suku Osing saran seperti suku Tengger, yang merupakan masyarakat yang setia kepada Raja Majapahit yang menyelamatkan diri ketika kerajaan diserang dan runtuh sekitar tahun 1478 M. Sebagian berhenti di pegunungan Tengger (sekarang menjadi kelompok masyarakat suku Tengger) di Probolinggo dan sebagian melanjutkan perjalanan hingga ke ujung timur P Jawa (Banyuwangi). Ada pula
kelompok yang terus menyeberangi selat (Bali). Kelompok masyarakat yang mengasingkan diri ke ujung timur Jawa ini kemudian mendirikan kerajaan Blambangan di Banyuwangi yang bercorak Hindu-Buddha seperti halnya kerajaan Majapahit. Kerajaan Blambangan berkuasa selama dua ratusan tahun sebelum jatuh ke tangan kerajaan Mataram Islam pada tahun 1743 M.
Orang-orang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa. Keturunan kerajaan Hindu Blambangan ini berbeda dari masyarakat lainnya (Jawa, Madura dan Bali), bila dilihat dari adat-istiadat budaya maupun bahasanya. Desa Kemiren lahir pada zaman penjajahan Belanda, tahun 1830-an. Awalnya, desa ini hanyalah hamparan sawah dan hutan milik penduduk Desa Cungking yang merupakan cikal-bakal masyarakat Osing. Hingga kini
Desa Cungking juga masih tetap ada. Letaknya sekitar 5 km arah timur Desa Kemiren. Hanya saja, saat ini kondisi Desa Cungking sudah menjadi desa kota.
Saat itu, masyarakat Cungking memilih bersembunyi di sawah untuk menghindari ten tara Belanda. Para warga enggan kembali ke desa asalnya di Cungking. Maka dibabatlah hutan untuk dijadikan perkampungan. Hutan ini banyak ditumbuhi pohon kemiri dan durian. Maka dari itulah desa ini dinamakan Kemiren. Pertama kali desa ini dipimpin kepala desa bernama Walik. Konon dia termasuk salah satu keturunan bangsawan.
Seperti halnya masyarakat suku Tengger, masyakat Osing di Kemiren bukan masyarakat eksklusif yang menutup diri seperti suku Badui. Di satu sisi, mereka sangat terbuka terhadap kemajuan jaman, seperti tampak pada eara berpakaian dan arsitektur rumah masa kini. Tapi di sisi lain, mereka kukuh menjalankan tradisi nenek moyang, mulai kehidupan sehari-hari sampai yang sacral seperti perkawinan sekalipun.
Cagar Budaya
Desa Kemiren telah ditetapkan sebagai Desa Osing yang sekaligus dijadikan cagar budaya untuk melestarikan keosingannya. Area wisata budaya yang terletak di tengah desa itu menegaskan bahwa desa ini berwajah Osing dan diproyeksikan sebagai eagar budaya Osing. Banyak keistemewaan yang dimiliki oleh desa ini di antaranya penggunakan bahasa yang khas yaitu bahasa Osing.
Kekhasan kehidupan dan pemukiman penduduk serta adat-istiadat suku Osing menjadi modal utama pemerintah daerah membangun Desa Wisata Osing. Wisata Osing yang sebenarnya adalah wisata budaya. Fasilitas rekreasi hanya merupakan tambahan yang dibangun sebagai pelengkap
Coba berkunjung ke desa ini pada saat diselenggarakan upacara adat “Ider Desa” misalnya, maka paket wisata budaya di Kemiren sangat lengkap.
Para ahli sejarah lokal cukup yakin bahwa julukan “Osing” itu diberikan oleh para imigran yang menemukan bahwa kata “tidak” dalam dialek lokal adalah “Osing”, yang berbeda dari kata “ora” dalam bahasa Jawa. Orang yang sebenarnya Jawa itu kini disebut Osing saja atau juga disebut Jawa Osing.
Ini memiliki ciri khas yaitu ada sisipan “y” dalam pengucapannya. Seperti contoh berikut ini: madang (makan) dalam bahasa Osing menjadi “madyang”, abang (merah) dalam bahasa Osing menjadi “abyang”. Masyarakat desa ini masih mempertahankan bentuk rumah sebagai bangunan yang memiliki
Keunikan lainnya terdapat pada tradisi masyarakat yang mengeramatkan situs Buyut Cili, tiap malam Senin dan malam Jumat warga yang akan membuat hajatan selalu melakukan doa dengan membawa “pecel pitik” atau yang bias a kita kenal dengan sebutan urap-urap ayam bakar di situs Mbah Buyut Cili yang dipercaya sebagai salah seorang leluhurnya.
Pendatang yang bermalam di desa ini juga dianjurkan untuk berziarah ke situs Buyut Cili guna meminta izin demi keselamatan dirinya serta dilancarkan urusannya selama berada di Desa Kemiren Buyut Cili ini dipercaya bisa mengabulkan permintaan masyarakat yang berziarah, asalkan permintaan tersebut bersifat baik. Salah satu caranya adalah dengan meminta berbagai bunga yang ada di makam tersebut kepada penjaga makam kemudian bunga tersebut dicampur dengan air untuk diminum tapi sebelumnya harus membaca basmalah dan shalawat 3x .  :.

1 comments:

bromo ijen tour said...

nice bro..... Desa Tamansari akan menyusul langkahmu..... hidup banyuwangi

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons