Wednesday, 6 June 2012

Bahasa Korea ada di Suku Cia-Cia

Suku dan Bahasa Cia- Cia - Ternyata sebuah suku Cia-cia di kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara di kota Bau-bau sekolah-sekolahnya mulai dari SD sampai SMU dimulai tahun 2008 mereka menggunakan hurup abjad dari Korea Selatan. Sebenarnya Buton sendiri memiliki bahasa dan aksara sendiri, yaitu bahasa Wolio dengan aksara berupa hurup gundul arab. Sementara suku Pancana, Cia-cia dan Wosai hanya memiliki bahasa saja dan tak memiliki aksara.


Suku Cia-cia dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 jiwa tinggal di pulau Buton.  mata pencaharian mereka adalah  bertanam jagung, padi dan singkong. Sebagian lagi matapencaharian mereka adalah sebagai nelayan dan membuat kapal.  Mereka memiliki bahasa asli Cia-Cia, namun terancam punah karena kekurangan sistem penulisan yang tepat.
Buton punya catatan sejarah penting sebagai pusat penyebaran agama Islam. Bahasa Cia-cia jika ditulis dalam abjad melayu ada banyak kalimat atau  kata yang tidak bisa ditulis. Sementara jika ditulis menggunakan aksara Arab gundul, akan berbeda makna jika setelah ditulis dan diucapkannya. Hanya dengan aksara Hangeul Korea semua bunyi itu bisa ditulis. Karena menghindari kepunahan dari bahasa Cia-Cia maka hurup abjad Hangeul Korea digunakan.


Abjad hanguel yang sejatinnya memiliki 28 hurup itu diperkenalkan pertama kali oleh seorang raja Sejong The Gread di tahun 1443. Bahkan konon di museum kerajaan korea yang terdapat dibawah tanah ada sebuah paviliun Bau-bau yang isinya tentang suku Cia-Cia.

Namun jauh beberapa tahun yang lalu tepatnya sejak 2008 ternyata ada sebagian warga pulau Buton yaitu suku Cia-Cia yang akrab dengan bahasa dan tulisan korea. Bermula dari datangnya seorang pemakalah asal Korea, Prof Chun Thay Hyun tertarik dengan paparan tentang keragaman bahasa dan adat istiadat di wilayah bekas Kesultanan Buton ini.

Dia lalu menyempatkan waktu untuk penelitian dan memilih Cia-Cia dikarenakan wilayah ini belum memiliki alfabet sendiri, serta adanya kesamaan pelafalan dan struktur bahasa dengan Korea. Bahasa asli Cia-Cia sendiri terancam punah bila terus dibiarkan karena tidak ada sitem penulisannya. Jadilah Pemkot Bau-Bau bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) menggelar Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara.

Pemerintah Kota Bau-Bau bekerja sama dengan Hunminjeongeum Research Institute, lembaga riset bahasa Korea telah menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Huruf ini dipelajari mulai dari tingkat SD hingga SMA. Sejak saat itulah nama Cia-Cia populer di Korea.

Banyak jurnalis dari Korea dan Jepang datang ke Bau-bau untuk meliput keantusiasan masyarakat sana akan bahasa Korea. Itu membuat beberapa kali liputan tentang Bau-Bau diputar di televisi internasional.

Plang-plang jalan di kota Bau-Bau juga banyak yang memakai abjad Hanguel. Beberapa siswa, guru, masyarakat Cia-Cia, serta pihak Pemkot Bau-Bau pernah diundang langsung ke Korea. Mereka mendemonstrasikan kemampuan menuliskan huruf Hanggeul untuk bahasa Cia-Cia. Bahkan, beberapa guru dari Korea didatangkan langsung ke Bau-Bau untuk mengajarkan huruf Haenggul.

Mereka menyempurnakan kurikulum serta menjadi pembuka jalan bagi dibangunnya Pusat Kebudayaan Korea. Warga Cia-Cia sendiri melihat itu dengan penuh kebanggaan. Beberapa warga telah dikirim ke Korea untuk memperdalalm pengetahuan bahasa.

Tentu hal ini dapat menjadi kebanggan bagi kita warga Indonesia karena salah satu bagian negeri ini dapat dikenal luas oleh masyarakat global atau dapat pula menjadi pukulan bagi kita dan pemerintah khususnya yang dapat dikatakan kurang memiliki kepedulian bagi kebudayaannya sendiri.



MENGAPA KEBUDAYAAN KOREA?

Pertanyaan ini diajukan untuk memastikan titik pijak Pemerintah melegalkan adaptasi kebudayaan Korea bagi kaum belia akademik Cia-cia. Objek sasaran ini sangat strategis. Sebab mereka adalah generasi baru dan nakhoda Buton ditengah samudera budaya daerah dan global.

Dalam batas cakupan jelajah akademik saya selama ini, terhadap sejarah dan kebudayaan Buton, upaya sosialisasi dan adaptasi ini tidak memiliki pijak yang kuat. Bahkan, hal itu tak lain dari gerak rantai pematian kebudayaan Buton.

Pemilihan dan penggunaan aksara sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan sepatutnya berlatarkan sejarah dan budaya masyarakat penggunanya. Sebagai contoh, pemanfaatan aksara Latin di Indonesia tidak lepas dari pengaruh bangsa Barat (Eropa) di Bumi Pertiwi pada masa silam. Demikian juga pemungsian aksara Pallawa pada sejumlah Prasasti di Pulau Jawa erat kaitannya dengan interaksi masyarakat Nusantara dengan masyarakat kebudayaan India, khususnya pada periode Hindu-Budha.

Penggunaan aksara Arab berbahasa Melayu, Arab, dan Wolio pada sejumlah naskah Buton merupakan buah interaksi pendukung kebudayaan itu di masa lalu. Aksara dan bahasa Arab, sebagai alat transformasi pesan-pesan Ilahi, tersebar seiring perkembangan agama Islam di Buton, dengan penganjur pada masa awalnya adalah Syekh Abdul Wahid dari Arab. Juga bahasa Melayu yang pernah menjadi lingua franca dalam dunia pelayaran dan perdagangan maritim Nusantara. Akar kebudayaan terakhir ini sangat kuat terutama pada fase awal sejarah politik Buton di abad XIII Masehi. Empat orang pengembara atau juga dikenal dengan Mia Pata Miana (Sijawangkati, Simalui, Sipanjonga, dan Sitamanajo) yang mendirikan Kerajaan Buton berasal dari Negeri Melayu di Semenanjung.

Pendeknya, bila frase-frase kebudayaan itu digunakan sebagai alat transformasi pengetahuan dan kebudayaan di Kota Bau-bau, maka jelas memiliki akar sejarah yang kuat. Sejalan dengan usaha itu pula, jika terdapat itikad baik Pemerintah Kota untuk menggunakan frase budaya (Asia) Timur di masyarakat Buton Cia-cia, maka alternatif aksara China sedikit lebih tepat karena secara faktual memiliki fondasi sejarah dengan masyarakat Cia-cia.

Dalam tradisi lisan Buton dikatakan, bahwa Ratu Buton pertama adalah Wa Kaa Kaa berasal dari China. Pendahulunya adalah Dungku Cangia yang menetap dan menjadi raja di Negeri Tobe-Tobe. Konon, setelah rombongan Wa Kaa Kaa mendarat di Wabula (Pasar Wajo), mereka bergabung dibawah pimpinan Dungku Cangia menuju Lelemangura, kelak menjadi pusat kerajaan. Dari Wa Kaa Kaa inilah, menurut tradisi lisan itu, berkembang masyarakat Cia-cia (di Wabula). 

Lalu, bagaimana akar serupa dapat ditunjukkan untuk aspek kebudayan Korea yang kini dipilih sebagai media transformasi pengetahuan dan kebudayaan bagi kaum belia akademik Cia-cia di Kota Bau-bau? Jika pemerintah Korea bersimpati pada penyelamatan kebudayaan daerah di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Young dalam artikelnya, mengapa alas usahanya tidak bertumpu pada pemupukan kebudayaan daerah yang sudah ada sejak awal, sehingga terjaga kelangsunganya. Bukan menggantikannya, apalagi memaksakannya, dengan anasir kebudayaan baru menggunakan pemikat teknologi dan kapitalisme modern.
 
BERALTERNATIF

Penggunaan aksara Hangul-Korea di Bau-bau telah membawa kita pada, apa yang dikatakan oleh Bapak Antropologi Idonesia Koentjaraningrat, praktek mentalitas menerabas. Demi mencari jalan pintas dan instan untuk sebuah popularitas publik, sebagai daerah yang mampu mengadaptasi dan menyembangkan kebudayaan asing di era global, khasanah kekayaan kebudayaan nasional tergadai.

Masyarakat Indonesia memiliki beragam kebudayaan, berikut aksara dalam mentransformasikan pegetahuan dan nilai-nilai budayanya. Di Sulawesi misalnya, tiga daerah yang memiliki ikatan erat di masa lalu adalah Wolio (Buton), Wotu (Luwu), dan Layolo (Selayar). 

Ketiganya, dari hasil studi lingusitik, memiliki persentase kimiripan bahasa yang tinggi (Pelras 2006), yang mengindikasikan kedekatan akar kebudayaannya. Dalam kaitan itu, masyarakat Bugis-Makassar telah lama dikenal menggunakan aksara Lontara sebagai media komunikasinya. Tetapi, mengapa kita tidak beralternatif untuk menggunakan media itu? Terlepas dari aspek dominasi budaya dan politiknya, yang dimiliki setiap daerah itu, alternatif ini masih dalam batas-batas terawang kebudayaan nasional. Atau alternatif lainnya adalah pemanfaatan aksara Arab dan Latin bagi kaum belia akademik Cia-cia. Akhirnya, selamatkan kebudayaan daerah demi masa depan kebudayaan nasional.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons